Senin, 29 Juni 2009



Stres Bisa Picu Serangan Jantung


Kematian Raja Pop Dunia, Michael Jackson, di tengah persiapan konser yang dijadwalkan pertengahan Juli nanti di London, Inggris, diduga kuat karena jantungnya berhenti berdetak. Gangguan kesehatan yang ditandai dengan berhentinya fungsi jantung itu kemungkinan dipicu stres atau pola hidup tak sehat.

Menurut dr Tarmizi Hakim, ahli jantung dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Pusat Jantung Harapan Kita, Jumat (26/6), saat dihubungi di Jakarta, henti jantung (cardiac arrest) merupakan salah satu gejala dari serangan jantung yang bisa berakibat fatal bagi penderita.

Mengutip Asosiasi Jantung Amerika (American Heart Association), sejauh ini tidak ada data statistik berapa jumlah pasti kasus henti jantung setiap tahun. Namun, diperkirakan lebih dari 95 persen penderita yang mengalami henti jantung itu meninggal sebelum tiba di rumah sakit, terutama apabila tidak tersedia fasilitas gawat darurat yang memadai.

Dalam kasus henti jantung, fungsi jantung penderita umumnya berhenti mendadak. Saat mengalami gejala itu, sebagian penderita belum terdeteksi menderita penyakit jantung koroner. Kematian mendadak karena henti jantung bisa terjadi beberapa menit setelah gejala itu muncul dan biasanya dialami penderita penyakit jantung koroner.

Gangguan respons elektrik

Mayoritas kasus henti jantung yang menyebabkan kematian mendadak terjadi pada saat respons elektrik dalam bagian jantung yang sakit menjadi cepat atau tidak beraturan.

Gangguan irama jantung menyebabkan jantung mendadak berhenti berdetak. Kematian bagian otak dan kematian permanen terjadi dalam 4-6 menit setelah seseorang mengalami henti jantung.

Henti jantung bisa diatasi jika penderita segera mendapat bantuan pernapasan atau terapi kejut elektrik pada organ jantung agar irama jantung kembali normal. Peluang bertahan hidup pada penderita yang henti jantung akan berkurang 7-10 persen setiap menit bila tidak mendapat penanganan darurat tersebut.

Akibat stres

Tarmizi menjelaskan, kematian mendadak karena henti jantung tergantung luas otot jantung yang terkena dan rusak. Makin luas daerah jantung yang terkena, kemungkinan jantung tidak bisa memompa darah ke seluruh tubuh kian besar.

Bila yang kena adalah bagian yang mengatur irama jantung, hal itu juga berakibat fatal bagi penderita.

Ada sejumlah faktor pemicu serangan jantung. Beberapa faktor risiko yang tidak bisa diubah adalah umur di atas 40 tahun, jenis kelamin pria, dan faktor genetik atau riwayat penyakit jantung dalam keluarga. Adapun beberapa hal yang bisa diubah adalah stres, pola makan tidak sehat, kurang berolahraga, dan kebiasaan merokok.

Sebagai artis kenamaan, serangan jantung yang diduga dialami Michael Jackson bisa terjadi karena stres atau terlalu bersemangat mempersiapkan konser kebangkitannya sebagai artis pop.

”Bila stres, ada kebutuhan mendadak dari otot jantung sehingga suplai darah terganggu. Stres menimbulkan hormon yang berkontribusi terhadap serangan jantung,” ujar Tarmizi.

Penggunaan obat-obatan secara sembarangan juga bisa memicu serangan jantung. Apalagi, menurut Tarmizi, demi tuntutan kerja dan gaya hidup yang dijalani, banyak artis yang mengambil jalan pintas untuk meningkatkan stamina dan bisa beristirahat.

Misalnya, menggunakan obat penenang secara berlebihan bila mengalami gangguan tidur.

Maka dari itu, mereka yang berisiko mengalami penyakit jantung koroner dianjurkan untuk secara rutin mengontrol kadar gula darah, tekanan darah, dan kolesterol. Pola makan juga harus dijaga, terutama menghindari makanan yang menyebabkan kadar gula darah dan tekanan darah naik serta meningkatkan kadar kolesterol. ”Berolahraga bisa mengurangi stres, menurunkan tekanan darah dan kolesterol,” katanya.

Beberapa gejala penyakit jantung juga perlu diwaspadai antara lain, rasa nyeri seperti ditusuk-tusuk pada dada. Rasa nyeri juga bisa terjadi pada tangan, punggung, dan perut. Bila mengalami beberapa gejala itu, seseorang dianjurkan segera memeriksakan kesehatan jantungnya.

”Salah satu gejala yang bisa berakibat fatal bagi penderita adalah henti jantung,” ujarnya.

Oleh: Evy Rachmawati

Diambil dari: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/29/03584796/stres.bisa.picu.serangan.jantung

Rabu, 24 Juni 2009

KAPAN PEMERIKSAAN RONTGEN DIPERLUKAN?

Rontgen cukup aman dilakukan pada anak, bahkan pada bayi jika memang diperlukan. Teknologi rontgen sudah digunakan lebih dari satu abad yang lalu. Tepatnya sejak 8 November 1890 ketika fisikawan terkemuka berkebangsaan Jerman, Conrad Roentgen, menemukan sinar yang tidak dikenalinya, yang kemudian diberi label sinar X. Sinar ini mampu menembus bagian tubuh manusia, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memotret bagian-bagian dalam tubuh. Berkat jasanya bagi dunia kedokteran, banyak nyawa bisa diselamatkan, hingga ia mendapat penghargaan Nobel di tahun 1901.
Pada prinsipnya sinar yang menembus tubuh ini perlu dipindahkan ke format film agar bisa dilihat hasilnya. Seiring dengan kemajuan teknologi, kini foto rontgen juga sudah bisa diproses secara digital tanpa film. Sementara hasilnya bisa disimpan dalam bentuk CD atau bahkan dikirim ke berbagai belahan dunia menggunakan teknologi e-mail.

PENYAKIT APA SAJA?

Perlu diingat, sinar X yang digunakan untuk foto rontgen merupakan sinar yang dapat menyebarkan radiasi. Meski demikian, manfaat yang didapat dari teknologi ini lebih banyak ketimbang risikonya jika dilakukan dengan benar. Itulah mengapa, bila dianggap perlu bayi yang baru lahir pun bisa menjalani tindakan ini untuk menegakkan diagnosis ada tidaknya kelainan dalam tubuhnya. Tindakan ini dilakukan semata-mata untuk memudahkan penatalaksaan selanjutnya. Akan tetapi harus diingat bahwa permintaan foto rontgen harus berasal dari dokter yang menanganinya, apakah ada indikasi, selain telah mempertimbangkan masak-masak manfaat dan kerugiannya.
Contoh indikasi yang menjadi pertimbangan adalah:

* Sesak napas pada bayi.
Untuk memastikan ada tidaknya kelainan di toraksnya (rongga dada), dokter membutuhkan foto rontgen agar penanganannya tepat. Soalnya, ada begitu banyak penyakit yang memunculkan gejala sesak napas namun membutuhkan penanganan yang jelas-jelas berbeda. Nah, hasil foto rontgen dapat membantu dokter menegakkan diagnosis.

* Bayi muntah hijau terus-menerus.
Bila dokter mencurigai muntahnya disebabkan sumbatan di saluran cerna, maka pengambilan foto rontgen pun akan dilakukan. Pertimbangan dokter untuk melakukan tindakan ini tidak semata-mata berdasarkan usia, melainkan lebih pada risk and benefit alias risiko dan manfaatnya.

* Deteksi masalah
pada tulang, paru-paru, usus, dan organ dalam lainnya . Bagi balita sampai kalangan dewasa, foto rontgen lazimnya dimanfaatkan untuk mendeteksi masalah pada tulang, paru-paru, usus, dan organ dalam lainnya.

RAGAM PERSIAPAN RONTGEN

Persiapan sebelum pemeriksaan dengan menggunakan sinar rontgen dapat dibedakan sebagai berikut:

* Radiografi konvensional tanpa persiapan
Maksudnya, saat anak datang bisa langsung difoto. Biasanya ini untuk pemeriksaan tulang atau toraks.

* Radiografi konvensional dengan persiapan
Pemeriksaan radiografi konvensional yang memerlukan persiapan di antaranya untuk foto rontgen perut. Sebelum pelaksanaan, anak diminta untuk puasa beberapa jam atau hanya makan bubur kecap. Dengan begitu ususnya bersih dan hasil fotonya pun dapat dengan jelas memperlihatkan kelainan yang dideritanya.

* Pemeriksaan dengan kontras
Sebelum dirontgen, kontras dimasukkan ke dalam tubuh dengan cara diminum, atau dimasukkan lewat anus, atau disuntikkan ke pembuluh vena. Alat rontgen yang digunakan untuk pemeriksaan selanjutnya adalah fluoroskopi. Pemeriksaan dilakukan jika usus atau lambung anak dicurigai terputar. Untuk anak yang dicurigai menderita Hirschsprung (penyempitan di usus besar yang disebabkan bagian usus tidak memiliki persarafan pada dindingnya), kontras dimasukkan lewat anus. Sedangkan untuk anak yang mengalami kelainan ginjal atau saluran kemih, kontras dimasukkan lewat pembuluh vena atau kandung kemih.

Setelah dilakukan tindakan ini, bukan tidak mungkin akan muncul reaksi alergi pada beberapa anak. Indikasinya adalah gatal, kemerahan, muntah, tekanan darah turun hingga sesak napas. Oleh karena itu, alat/obat-obat untuk menangani kondisi ini harus tersedia di ruang pemeriksaan yang merupakan bagian dari prosedur standar pelaksanaan rontgen menggunakan kontras.

Untuk mencegah paparan radiasi, ada perlengkapan khusus yang digunakan selama proses berlangsung. Misalnya organ vital anak akan ditutup selama pelaksanaan foto rontgen, atau orang tua yang "memegangi" anaknya diharuskan memakai pelindung khusus yang disebut shielding atau apron. Jatuhnya sinar ke tubuh anak pun harus melewati piranti khusus guna meminimalisir kemungkinan bahaya radiasi. Intinya, persiapan matang sudah dipikirkan untuk memprioritaskan keamanan pasien.

RONTGEN KALA SAKIT RINGAN

Banyak orang tua yang menanyakan kala anaknya sakit ringan, seperti batuk-pilek, bolehkah dirontgen untuk pemeriksaan yang lain. Pada prinsipnya tidak masalah sepanjang manfaat yang didapat dengan tindakan tersebut lebih besar. Dokterlah yang akan memutuskan dengan berbagai pertimbangan, apakah foto rontgen harus dilakukan atau tidak. Jika anak mengalami batuk kronik disamping flu, dokter dapat meminta pemeriksaan dengan foto rontgen.

Namun ada kondisi tertentu yang menyebabkan anak tidak bisa dirontgen. Di antaranya anak yang sedang sakit berat. Namun dengan kemajuan teknologi, di banyak rumah sakit sudah ada alat rontgen yang mobile. Sehingga alat rontgenlah yang akan mendekat atau menjauh tanpa pasien harus berpindah tempat. Selain itu, tak masalah juga bila anak memang memerlukan pemeriksaan rontgen berulang. Contohnya pada anak yang dicurigai TBC paru sehingga perlu rontgen ulang sebagai bahan evaluasi setelah menja-lani pengobatan selama 6 bulan. Selain jangka waktunya cukup lama, dosis yang digunakan pun sudah dipertimbangkan seminimal mungkin sejauh masih bisa diperoleh gambar yang jelas. Mengenai dosis minimal yang diperbolehkan tentu sudah ada aturan bakunya, tergantung pada organ tubuh anak, terma-suk berat badannya. Selama dosis yang digunakan tepat, kalaupun ada sel-sel yang terkena radiasi sinar X ini biasanya akan segera pulih kembali.

Jadi, batasannya bukan pada berapa kali dalam setahun atau berapa banyak dalam kurun waktu tertentu anak boleh dirontgen, melainkan seberapa penting dan mendesak tindakan tersebut harus dilakukan. Itulah mengapa pada kondisi tertentu dimana diagnosis hanya bisa ditegakkan berdasarkan hasil rontgen, meskipun harus diulang dalam jangka waktu relatif berdekatan, dokter akan tetap merekomendasikannya untuk kepentingan anak.

ADA BATASNYA
Pada prinsipnya, sinar X menyebarkan radiasi yang bisa menyebabkan ionisasi sel. Dalam jangka panjang, paparan radiasi ini bisa memicu munculnya kanker. Namun tentu saja ambang dosis yang dibutuhkan untuk memicu kanker tidaklah sedikit. Sejauh ini radiologi yang digunakan untuk pasien masih dalam batas aman.
Sedangkan pekerja di lingkungan radiologi dibekali indikator khusus untuk mendeteksi seberapa besar paparan radiasi yang sudah diterimanya. Seiring dengan kemajuan teknologi, posisi "penembakan" pun sudah dibuat sedemikian rupa sehingga baik pasien maupun dokter/pekerja radiologi yang melakukan tugasnya seminimal mungkin terpapar radiasi. Demikian juga dengan waktu yang diperlukan selama proses "penembakan" dibuat semakin singkat.

LAIN BAYI, LAIN PULA IBU HAMIL
Tentu ada yang bertanya-tanya mengapa ibu hamil jelas-jelas dilarang memasuki daerah yang kemungkinan terpapar sinar rontgen sementara bayi baru lahir justru tak bermasalah. Bukankah selisih usia janin dengan bayi baru lahir tidak jauh? Mengenai hal ini, ada pertimbangan khusus. Pada bayi baru lahir, rontgen boleh dilakukan bila si bayi memang benar-benar sakit dan untuk penanganannya dibutuhkan tindakan rontgen. Sedangkan dalam bentuk janin, perkembangan seorang individu masih belum terbentuk sempurna dan akan terus berlangsung. Bila sampai terpapar sinar rontgen sangat dikhawatirkan "susunan" sel-sel pembentuknya akan rusak atau kacau yang akan menyebabkan bayi terlahir cacat atau mengalami gangguan serius. Jadi, bila memang membutuhkan pemeriksaan, khusus untuk ibu hamil akan dicarikan alternatif lain selain rontgen.

SUDAH MERATA
Penggunaan teknologi ini di Indonesia sudah hampir merata penyebarannya. Rumah sakit di daerah terpencil pun kini sudah banyak yang memiliki alat ini. Adapun biaya "standar" yang diperlukan untuk foto rontgen di rumah sakit pemerintah sekitar Rp70.000 tergantung jenis pemeriksaannya. Sebagai catatan, rontgen termasuk tindakan yang ter-cover program kesehatan untuk masyarakat miskin yang dicanangkan pemerintah.

Diambil dari: http://www.mail-archive.com/ne@news.gramedia-majalah.com/msg02944.html

Narasumber:

Dr. Haryanti Fauzia Wulandari S., Sp.A.

dari Bagian Pencitraan Anak RSUPN Cipto Mangunkusumo